Tabita Kartika Cristiani. guru kita

3 Model pendidikan agama dalam konteks multikultural

Diposting pada

Tabita Kartika Cristiani. Mereka mengusulkan tiga model pendidikan agama, yakni: in the wall, at the wall, dan beyond the wall. Secara terperinci tiga model agama tersebut adalah sebagai berikut:

1. Model pendidikan agama In the wall.

Model ini lebih menekankan pada fase pembentukan keyakinan (iman) yang hanya mempelajari tradisi sendiri tanpa menghubungkan dengan tradisi lain. Implikasi dari hal tersebut, siswa menjadi terisolir dalam tradisi sendiri dan cenderung memiliki kesalahpahaman dan prasangka terhadap tradisi agama lain.

Model ini berorientasi mengajarkan agamanya sesuai agama tersebut tanpa berdialog dengan agama lain, sehingga cenderung membentuk pribadi intoleran. Model ini sejajar dengan model pendidikan agama eksklusif yang mempertegas garis demarkasi antara pemeluk agama satu dengan lainnya, dampaknya melahirkan claim truth (klaim kebenaran), monopoli Tuhan, dan superioritas satu agama terhadap agama lain.

2. Model pendidikan agama At the wall. (melewati dan datang kembali)

Paradigma pendidikan agama at the wall tidak hanya mengajarkan agamanya sendiri, melainkan sudah mendiskusikan nya dengan agama yang lain. Sudah terjadi transformasi keyakinan dengan belajar mengakui perbedaan dan terlibat dialog antar agama. Dialog ini dilihat sebagai pencarian arti yang lebih luas dari nilai-nilai umum.

Model ini membantu mereka melihat diri sendiri sebagai orang lain, dengan demikian mengurangi rasa superioritas atas agama lain. Kesediaan untuk mengetahui orang lain akan memperluas perspektif dan pengetahuan sehingga menghindari kesalahpahaman dan prasangka serta menumbuhkan perasaan hormat terhadap agama lain.

Model ini digambarkan dengan ungkapan “melewati dan datang kembali” yaitu meninggalkan tradisi sendiri untuk masuk dan mempelajari tradisi lain kemudian kembali pada tradisinya. Model ini memperkaya keyakinan peserta didik dan menghargai keberadaan agama lain dan mengakui nilai-nilai universal.

3. Model pendidikan agama Beyond the wall.

Paradigma pendidikan agama ini tidak sekadar berorientasi untuk berdiskusi dan berdialog dengan orang yang berbeda agama, namun lebih dari itu mengajak peserta didik untuk menciptakan perdamaian, keadilan, harmonisasi, dan melibatkan mereka dalam kerja sama kegiatan kemanusiaan. Berbeda keyakinan bukanlah penghalang untuk bekerja sama dalam kepentingan kemanusiaan.

Fase ini sering disebut fase keyakinan (iman) praktis, musuh agama bukan penganut agama lain, melainkan kekerasan, ketidak adilan dan lain-lain Model pendidikan agama Beyond the wall membantu siswa menghubungkan antara teori, praktik, pengetahuan, dan perbuatan.

Baca juga : Pengertian pendidikan multikultural

Pengetahuan akan tradisi agama lain merupakan modal berharga bagi pengembangan budaya toleransi dan membantu menemukan nilai-nilai universal dari setiap agama.

Toleransi bukanlah bernegosiasi dengan filosofis agama lain, melainkan bahwa kita memiliki keyakinan mendasar yang berbeda dengan keyakinan orang lain dan kita mentolerir hal tersebut.

Dengan mengetahui tradisi agama lain maka seseorang akan mengetahui nilai-nilai universal yang terdapat dalam agamanya dengan agama lain. Hal tersebut akan menumbuhkan budaya toleran dan kemauan bekerja sama dengan pemeluk agama lain sehingga terbina kehidupan yang harmonis. Kemauan mengetahui tradisi agama lain tidak lahir dari model pendidikan agama in the wall karena model ini justru melahirkan pribadi yang intoleran.

baca juga:

1 komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *